SANGATTA – Di tengah berbagai tantangan pembangunan daerah, Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menghadirkan kabar menggembirakan, yakni angka stunting berhasil ditekan secara signifikan dalam waktu kurang dari dua tahun. Tak sekadar angka, penurunan ini adalah hasil dari kerja kolaboratif yang tak kenal lelah, serta kisah di balik data yang layak diapresiasi.
Data resmi dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dan Survei Gizi Indonesia (SGGI) 2024 milik Kementerian Kesehatan RI mencatat, prevalensi stunting di Kutim turun dari 29 persen menjadi 20,6 persen pada 2025. Angka ini menunjukkan penurunan 8,4 persen, sebuah lompatan besar yang mengangkat Kutim dari peringkat ke-10 menjadi peringkat ke-7 di Kalimantan Timur.
Kabar baik ini disampaikan oleh Achmad Junaidi B., Sekretaris Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Kutim, melalui pesan WhatsApp pada Rabu (11/6/2025). Dalam kapasitasnya juga sebagai Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (PPKB) Kutim, Junaidi menjelaskan bahwa capaian ini bukan hasil kerja sehari semalam, melainkan akumulasi dari komitmen jangka panjang dan kolaborasi lintas sektor.
“Kunci utama keberhasilan ini adalah sinergi. Semua pihak bergerak, antara Perangkat Daerah, organisasi mitra, pemangku kepentingan, hingga masyarakat,” ungkapnya.
Salah satu fondasi utama keberhasilan adalah pembinaan dan pendampingan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang dilakukan oleh BPKP. Sistem ini mendorong akuntabilitas dan pengawasan menyeluruh dalam setiap pelaksanaan program di lapangan.
Namun cerita keberhasilan Kutim tidak berhenti di angka prevalensi saja. Sistem Informasi Keluarga (SIGA) Elsimil milik BKKBN RI menunjukkan penurunan nyata dalam angka Keluarga Risiko Stunting (KRS). Pada semester II/2023, jumlah KRS tercatat 19.900 keluarga. Dalam rentang waktu satu tahun, jumlah tersebut menyusut drastis menjadi 11.973 keluarga pada akhir 2024.
Penurunan bertahap ini dari 19.900 ke 15.576, kemudian 12.362, hingga akhirnya menyentuh angka di bawah 12 ribu, ini menjadi indikator kuat bahwa intervensi yang dilakukan tidak hanya menyentuh permukaan, tetapi benar-benar menyasar akar persoalan.
Bagi Junaidi, capaian ini bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari perjuangan jangka panjang. Ia menekankan pentingnya keberlanjutan kolaborasi antara pemerintah, organisasi mitra, dunia usaha hingga masyarakat sipil.
“Kita harus terus bersinergitas mengawali Kutai Timur Hebat menuju Indonesia Emas 2045,” tegasnya penuh semangat.
Cerita sukses Kutai Timur dalam menekan stunting adalah bukti bahwa ketika strategi bertemu komitmen, dan data diiringi aksi nyata, perubahan adalah sesuatu yang mungkin terjadi, bahkan dalam waktu singkat. Kini, tantangan berikutnya adalah menjaga keberlanjutan dan menyebarkan semangat ini ke seluruh penjuru daerah lainnya.