SANGATTA – Kepala Dinas Pertanahan Kutai Timur (Kutim), Simon Salombe menegaskan bahwa istilah “tanah negara bebas” kerap disalahpahami. Ia menjelaskan bahwa tanah jenis ini tidak sama dengan lahan yang benar-benar kosong dan ketersediaannya saat ini semakin terbatas.
Dirinya membeberkan bahwa tanah milik negara dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu kawasan dan nonkawasan. Tanah nonkawasan atau Areal Penggunaan Lain (APL) bisa dimanfaatkan oleh masyarakat maupun badan hukum, sepanjang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Tanah negara bebas merupakan lahan yang belum memiliki hak dan tidak termasuk kawasan hutan atau perikanan. Artinya, bisa digunakan oleh masyarakat atau perusahaan sesuai aturan,” jelas ia.
Ia juga menambahkan bahwa lahan yang benar-benar bebas dan layak pakai semakin sedikit. Sebagian besar tanah produktif telah dikuasai investor, sementara sisa lahan memiliki keterbatasan, misalnya dari sisi kesesuaian untuk pertanian atau perkebunan.
Dalam hal penguasaan tanah, Simon menjelaskan mekanisme yang berbeda bagi masyarakat dan perusahaan. Masyarakat dapat memulai dengan bukti penggarapan untuk memperoleh Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT), sedangkan perusahaan harus melalui proses izin lokasi sebelum menggarap lahan dan mengajukan Hak Guna Usaha (HGU).
Dinas Pertanahan Kutim membagi pengelolaan tanah ke dalam tiga bidang utama, yakni Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Penatagunaan Tanah, serta Pengadaan Tanah, Ganti Rugi, dan Redistribusi Tanah. Struktur ini bertujuan memastikan setiap proses pertanahan berjalan transparan dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat maupun investor.
Simon menekankan bahwa pengelolaan tanah yang baik penting untuk mendukung pembangunan daerah, sekaligus melindungi hak masyarakat. (Adv)
