Tangis Pagi di Bandara: Catatan Seorang Ayah Menuju Cibubur

Pagi itu Balikpapan tersenyum cerah. Minggu, 18 Mei, pukul enam pagi langit sudah terang, seolah memberi restu untuk sebuah perjalanan yang bukan sekadar perpindahan jarak, melainkan juga perpisahan kecil yang sarat rasa.

Diantar kawan lama, teman seperjuangan saat kuliah di Mapala Cadas. Saya menuju Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Tak sendiri. Istri saya Lela, dan putri kecil kami Maryam, turut mengantar hingga ke ruang keberangkatan. Ini bukan pertama kalinya kami bepergian. Sejak Maryam lahir, kami selalu bersama dalam setiap perjalanan baik menggunakan kapal, pesawat dan darat. Tapi pagi itu berbeda. Hanya saya yang akan terbang ke Jakarta.

Sebelum sampai bandara, kami sempatkan singgah sebentar. Nasi kuning andalan di warung sederhana di Jl. Soekarno Hatta KM 6 jadi pengisi energi. Hangatnya rasa belum bisa menandingi dinginnya hati menjelang perpisahan.

Begitu memasuki ruang tunggu, Maryam mulai menangis. Tangisan itu bukan sekadar suara, itu jerit hati seorang anak yang menolak dipisahkan. Saya hanya bisu, menahan rasa yang menyeruak. 

Istri saya hanya diam. Tapi dalam diamnya, ia bisa membaca gelombang emosi yang tak diucap. Karena hanya istri yang tahu bagaimana rasanya melepas suami sambil memeluk anak yang tak mau ditinggal. Dan hanya ayah yang tahu bagaimana hancurnya hati saat tak bisa menjawab tangis putrinya dengan pelukan yang menenangkan.

Suara tangisnya yang khas melengking dan penuh rindu masih terdengar meski saya sudah melewati pemeriksaan. Saya tahu, itu bukan sekadar rengekan. Itu suara dari hati yang menginginkan kebersamaan yang tak tergantikan. Sekali lagi hanya para ayah yang tahu, bagaimana sesaknya dada mendengar anak perempuannya menangis, dan tak bisa memeluknya.

Saya duduk di ruang tunggu, gate 10. Satu jam menanti, tak sadar bahwa gate dipindah ke gate 8. Terlalu tenggelam dalam pikiran, dan tulisan. Sebuah pelajaran untuk perjalanan berikutnya: selalu awas, meski hati sedang berat.

Di gate 8, saya bahkan menjadi penumpang pertama yang menaiki pesawat. Duduk di kursi 27F, jendela kecil menjadi saksi langkah pertama saya menuju Jakarta. Untuk pertama kalinya kaki ini akan menginjak ibu kota, sebelum melanjutkan ke Cibubur, mengikuti sertifikasi profesi.

Sementara itu, Maryam dan ibunya akan tetap di Balikpapan. Menunggu. Menyisakan ruang kosong di hati. Dan hanya para suami yang tahu, bagaimana sunyinya hari-hari saat istri dan anak tak berada di dekatnya. 

Pesawat mulai bergerak. Cerita baru segera dimulai. Tapi pagi itu, di ruang tunggu bandara, sepotong hati saya tertinggal di tangan kecil yang menggenggam harapan agar ayahnya tak pergi.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *