Kaltim Kaya Sumber Daya, Tapi Masih Jadi Penonton: Gubernur Kaltim Dorong Ekonomi Hijau Rakyat

BALIKPAPAN – Meski dikenal sebagai lumbung energi nasional, Kalimantan Timur masih belum benar-benar menikmati hasil kekayaan alamnya sendiri. Dalam forum resmi Rapat Koordinasi Nasional Pusat Inkubasi Bisnis Syariah (PINBAS) Majelis Ulama Indonesia 2025, Gubernur Kalimantan Timur, Dr. H. Rudy Mas’ud (Harum), menyampaikan kenyataan pahit itu di depan peserta forum, Jumat (1/8/2025).

“Namun kegiatan itu bukan milik kita,” tegas Harum, merujuk pada industri minyak, gas, dan batu bara yang selama ini mendominasi ekonomi daerah namun minim keterlibatan warga lokal.

Pernyataan ini menjadi sorotan penting yang jarang disampaikan secara terbuka oleh kepala daerah. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, Harum mengajak masyarakat dan lembaga ekonomi syariah seperti PINBAS untuk tak lagi sekadar menjadi penonton di atas tanah sendiri.

Read More

Ketimpangan Sumber Daya: SDA Milik Negara, Peluang Rakyat di Sektor Lain

Kaltim menyumbang porsi signifikan untuk energi nasional, namun efek langsung ke ekonomi rakyat masih terbatas. Harum menyadari hal ini, dan mengarahkan perhatian ke sektor lain yang lebih inklusif: ekonomi hijau dan biru.

Beberapa kabupaten di Kaltim, ujarnya, telah membuktikan bahwa komoditas seperti kakao, kopi, lada, hingga sawit bisa menjadi kekuatan baru. Kakao, misalnya, telah tumbuh pesat dan bahkan diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia, dengan harga global mendekati USD 10.000 per metrik ton.

“Kakaonya adalah kakao terbaik dunia,” ungkap Harum.

Ia menilai, selama ini Kaltim terlalu sibuk menunggu limpahan dari industri besar, padahal sektor pertanian dan perkebunan menyimpan potensi luar biasa jika diolah secara serius. Melalui PINBAS dan jaringan pesantren atau UMKM syariah, peluang untuk mengembangkan komoditi unggulan secara terintegrasi—dari hulu ke hilir—sangat terbuka.

Dari Ekspor Mentah ke Hilirisasi: Saatnya Rakyat Kuasai Rantai Nilai

Gubernur Harum tidak sekadar mengajak, tapi juga menantang lembaga seperti PINBAS untuk terlibat aktif dalam hilirisasi. Produksi cokelat dari kakao lokal, pengolahan lada dan kopi menjadi produk siap ekspor, hingga pemanfaatan turunan sawit disebutnya sebagai peluang nyata yang bisa diambil rakyat.

“Silakan PINBAS ikut terlibat. Kalau perlu hilirisasi, diolah dan diproduksi, kita ekspor,” tandasnya.

Kalimantan Timur, lanjut Harum, memiliki luas lahan potensial mencapai 12,5 juta hektare. Dari total itu, 3 juta hektare merupakan lahan perkebunan sawit, namun baru setengahnya yang aktif berproduksi. Sementara itu, Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 4 juta hektare masih bisa dimanfaatkan untuk pengembangan usaha rakyat berbasis pertanian dan perkebunan.

33 Negara Tujuan Ekspor: Tapi Siapa yang Menikmati?

Kaltim saat ini memiliki 46 jenis komoditi yang diekspor ke 33 negara. Namun pertanyaannya, seberapa besar nilai tambah yang kembali ke petani dan masyarakat lokal? Dalam konteks ini, Harum mendorong agar pendekatan ekonomi syariah bisa memperpendek rantai distribusi, sekaligus menjamin keadilan harga.

Ia menyampaikan harapannya agar lembaga seperti PINBAS tak hanya fokus pada pendampingan spiritual atau edukasi keuangan syariah, tetapi juga aktif sebagai pelaku ekonomi—mengelola kebun, membangun pabrik pengolahan, hingga menjalin kerja sama ekspor.

Rakyat Tidak Boleh Jadi Penonton Lagi

Kritik terselubung Gubernur Harum terhadap model ekonomi ekstraktif yang selama ini berjalan menjadi catatan penting. Ia mengingatkan bahwa potensi besar Kalimantan Timur hanya akan bermanfaat jika dikelola dan dinikmati oleh masyarakat sendiri, bukan oleh segelintir korporasi besar dari luar daerah.

Dengan membuka pintu kolaborasi dan mengarahkan perhatian ke sektor agribisnis, Harum menegaskan bahwa arah pembangunan Kaltim harus berubah: dari eksploitatif menjadi produktif, dari ketergantungan ke kemandirian, dari penonton ke pelaku utama.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *